Lenteranusantara.co.id, Ambon – Saran sebagian besar anggota Komisi I DPRD Provinsi Maluku agar ahli waris Josfince Pirsouw menggugat Pemerintah Provinsi Maluku, Dinas Pertanian Maluku dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Maluku terkait lahan pertanian seluas 8 Ha di dalam Dusun Urik di Negeri Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, adalah saran tidak berdasar dan bagian dari upaya melepas tanggung jawab hukum mengganti rugi ke pemilik lahan dimaksud.
“Klien kami (Jonri Pirsouw) adalah ahli waris Josfince Pirsouw yang merupakan pemilik Dusun Urik seluas lebih kurang 1.000 hektare yang diperkuat sejumlah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap baik di zaman Kolonial maupun saat ini, sehingga mana mungkin kita gugat objek yang tidak jelas batas-batasnya dalam surat penjualan tahun 1954 yang patut diduga palsu. Tentu kita tidak sebodoh itulah,” tegas Kuasa Hukum (KH) Jonri Pirsouw, Rony Samloy, S.H., sebagaimana dikutip dari referensimaluku.com Senin (5/5/2025).
Samloy menjelaskan, kliennya Josfince Pirsouw adalah pemilik sah Dusun Urik di Piru berdasarkan putusan Hila 1872, Putusan Hatusua 1895, Putusan Pengadilan Negeri Masohi Nomor: 23/Pdt.G/2018/PN.Msh juncto Putusan Pengadilan Tinggi Ambon Nomor: 54/PDT/2019/PT.Amb yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsdezaak). Dalam perspektif hukum dikenal istilah penundukan dianggap atau diam-diam dan penundukan sukarela.
“Seharusnya Pemprov Maluku, Distan Maluku dan BPKAD Maluku tunduk secara sukarela pada putusan pengadilan yang telah inkracht bukan sebaliknya terkesan beralibi tidak tahu ada putusan pengadilan inkracht di lahan Dusun Urik. Ingat loh ada masyarakat baru terbentuk negara,” tandasnya.
Samloy lantas mempertanyakan berdasarkan apa, bukti apa, Surat Keterangan Tanah kah, sertifikatkah, nomor berapa atau apa sampai BPKAD Maluku dapat keluarkan Nomor Koding Aset di lahan Dusun Urik milik Josfince Pirsouw. Padahal lahan yang diklaim Pemprov Maluku itu belum pernah diukur secara kadasteral dan batas batasnya juga tidak dapat ditunjuk dengan benar oleh ahli waris Gerson Pirsouw, penjual di surat penjualan 1954.
“Pihak Distan Maluku selalu mengatakan kepada kita bahwa kalau tidak puas silahkan gugat di Pengadilan. Bagaimana kita mau gugat kalau sertifikat dan SKT dari Distan Maluku tidak ada serta batas-batasnya tidak jelas di mana. Itu sama saja buang-buang energi. Pasti gugatan akan kabur dan hasilnya gugatan tak diterima. Seharusnya Distan Maluku yang gugat ahli waris Josfince Pirsouw. Kalau dari awal tanah itu ada sertifikat/SKT dan batas-batasnya jelas maka otomatis kami akan gugat,” ungkap Samloy.
Dia menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seram Bagian Barat (SBB) tidak tahu malu dan salah alamat jika meminta Pemprov Maluku menghibahkan lahan pertanian di atas Dusun Urik milik Josfinfe Pirsouw ke Pemkab setempat.
“Kalau Pemkab SBB minta hibah tanah itu dari Distan Maluku itu salah alamat karena lahan itu milik Josfince Pirsouw,” imbuhnya.
Samloy khawatir mayoritas anggota Komisi I DPRD Provinsi Maluku ikut serta mendukung mafia tanah yang telah dengan sengaja merampok sebagian lahan milik Josfince Pirsouw.
“Kepada DPRD Provinsi Maluku khusunya Komisi I bisa kena pasal turut bersama-sama mendukung kejahatan karena tidak melihat sertifikat atau SKT asli dan hanya mempercayai surat foto kopi. Seharusnya DPRD Provinsi Maluku libatkan pihak BPN Provinsi Maluku maupun BPN kabupaten SBB untuk melihat alas hak dari Distan Maluku. Langkah “on the spot” yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Maluku itu salah sasaran karena pada saat “on the spot” Pemprov Maluku tidak tahu batas-batas tanah tersebut dan pada saat ditunjuk oleh Distan Maluku salah karena menunjuk titik di lokasi tanah milik orang lain atau bukan tanah yang dimaksud. Bahkan hampir terjadi bentrok dengan pemilik-pemilik lahan,” ungkapnya.
Lanjutnya, DPR sebagai representasi suara dari rakyat harusnya netral dan pro rakyat kecil bukan kepada pemerintah yang lalim. On the spot itu terkesan hanya hambur-hamburkan uang rakyat karena mubazir atau tidak menemukan lokasi tanah tersebut. Padahal kalau Komisi I DPRD Provinsi Maluku mau mendengar masukan salah satu anggotanya ibu Vivian Haumahu pada saat RDP dengan kami selaku kuasa hukum ahli waris pemilik lahan untuk menghadirkan Distan Maluku sekaligus membawa surat aslinya untuk dilihat kan bagus, tapi anehnya Solihin Buton selaku ketua komisi dan anggota lainnya hanya mengikuti surat dari Pemkab SBB yang tidak jelas untuk melakukan on the spot”.
“Kami sebenarnya sudah tahu siapa penyuruh dan pembuat surat penjualan tahun 1954 yang sarat kepalsuan itu. Suratnya dibuat dan sengaja foto kopinya disebarkan. Padahal akibat terlalu tergesa-gesa akhirnya surat tersebut diketik salah tahunnya yaitu 1954. Padahal tahun 1954 belum ada Distan Maluku. Begitu juga dengan segelnya. Makanya kami melapor ke pihak kepolisian untuk segera mengusut sampai tuntas. Kami percaya pihak kepolisian akan merespons laporan kami. Dan apabila lambat dalam mengusut maka kami akan mengambil jalan kami sendiri yaitu palang jalan raya di dalam dusun klien kami. Itu jalan terakhir bagi kami kalau polisi lambat, sebab ini kejahatan dan bentuk pelanggaran hak asasi klien kami di tanah ulayat klien kami. Negara mengambil hak klien kami tanpa libatkan klien kami. Jadi Distan Maluku dan Pemkab SBB menipu dengan cara-cara mafia tanah lalu pakai nama negara”. sebutnya.
“Distan Maluku sudah menggunakan Surat Palsu dengan menempel papan larangan tanah milik negara di atas dusun klien kami. Di dalam papan larangan itu tertulis dengan jelas hanya alas hak 8 hektar tapi tidak ada nomor SHM dan batas-batas tanah yang jelas lalu menipu masyarakat mengakibatkan kerugian yang sangat besar kepada klien kami”.
“Kami meminta ketua DPRD Provinsi Maluku untuk melihat hal ini dan segera memanggil kepala Distan Maluku dan BPKAD Maluku untuk meminta mereka menjelaskan dengan benar karena itu tugas DPR,” harapnya. (LN-04)
KH Ahli Waris Josfince Pirsouw Tak Gegabah Gugat Surat Palsu Terkait Lahan Distan Maluku di Piru
