Lenteranusantara.Co.Id, Ambon, – Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Kabupaten Buru, Maluku, Al Muhajir Sipei Miru layak dikategorikan “aktivis abal-abal” dan “wartawan gadungan”.
Bayangkan saja hanya untuk memuluskan niatnya berunjuk rasa atau menyusup ke barisan massa pendemo, Al Muhajir diduga berpura-pura meliput demonstrasi di depan Markas Komando Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (30/8/2025).
Sikap tak terpuji Al Muhajir ikut memicu perbincangan serius tentang profesionalitas wartawan di lapangan. Informasi yang diperoleh media ini, Senin (1/9), mengungkapkan pada saat dintegorasi aparat kepolisian, Al Muhajir sempat mengaku kalau dia jurnalis, namun sayangnya dia tidak mampu menunjukkan kartu pers resmi dari kantor pers di mana dia bekerja.
Saksi mata di lokasi membenarkan bahwa Al Muhajir hadir di arena aksi dengan pura-pura hendak meliput jalannya demonstrasi. Padahal dia bukan seorang jurnalis. Alhasil, ketika diminta menunjukkan identitas sebagai wartawan, ia tak bisa mengeluarkan kartu pers, sehingga aparat pun langsung mengamankannya. Kabarnya dia masih diamankan polisi hingga saat ini.
Kasus ini menegaskan satu hal penting: kartu pers bukan sekadar formalitas administratif, melainkan tanda pengenal resmi, legitimasi hukum, sekaligus benteng perlindungan bagi wartawan.
Tanpa kartu tersebut, siapa pun yang mengaku wartawan rentan dicap sebagai penyusup, provokator, bahkan penyalahguna profesi atau jurnalis gadungan.
Cermin buram dan jalan ke depan
Kasus Al Muhajir menjadi cermin buram jurnalisme di lapangan. Ia mengingatkan bahwa kebebasan pers hanya bisa berjalan tegak bila jurnalis membawa dua hal sekaligus integritas dan identitas. Kartu pers bukan hanya selembar tanda pengenal, melainkan simbol kepercayaan antara jurnalis, publik, dan negara. (LN-04)