“Indonesia di Dadaku, Timor Leste di Perutku”, Potret Masyarakat Pulau Liran di Perbatasan

banner 468x60

Oleh : Fauzan —- Dosen – Mengajar di Jurusan Hubungan Internasional UPN Yogyakarta, Peminat Limology (Studi Perbatasan) dan Studi Keamanan. Sekedar ingin berbagi cerita tentang perbatasan.

 

Pulau Liran (atau sering disebut juga pulau Lirang), bagian dari wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), provinsi Maluku, mungkin tak banyak dikenal orang. Namun, pulau yang terletak di ujung barat wilayah kabupaten Maluku Barat Daya ini menyimpan kisah kehidupan yang kaya akan tradisi, kekerabatan, dan hubungan lintas batas. Pulau Lirang berhadapan dan berbatasan dengan Pulau Atauro (Pulau Kambing) di Timor Leste, dan masyarakat di kedua pulau ini memiliki kedekatan yang unik, baik secara historis, sosial maupun ekonomi, yang bertahan meskipun terpisahkan oleh batas negara.

Secara geografis, Pulau Lirang berada sangat dekat dengan Pulau Atauro yang berjarak kurang dari 15 km. Letaknya yang strategis di perbatasan negara menjadikan pulau ini sebagai salah satu titik penting dalam lintas batas. Secara adminsitrasi, Pulau Lirang merupakan bagian wilayah kecamatan Wetar Barat. Berdasarkan data 2024, Pulau Lirang memiliki populasi 1.275 penduduk. Di Pulau Lirang ini hanya terdapat 1 desa yang menjadi pusat kota kecamatan Wetar Barat, yaitu desa Ustutun dan juga 1 dusun yaitu dusun Manoha.

Kehidupan di pulau ini berjalan cukup sederhana, dengan penduduk yang bergantung pada alam sebagai sumber penghidupan utama. Infrastruktur yang tersedia seperti jalan beraspal, Listrik, jaringan telekomunikasi, air bersih dan lain-lain masih terbatas. Namun, kondisi ini tak mengurangi semangat dan keramahan penduduk lokal yang antusias menyambut kedatangan pengunjung. Saat kami datang, kami disambut dengan upacara adat yang melibatkan perangkat kecamatan, aparat keamanan, tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat. Sambutan ini memperlihatkan betapa kuatnya ikatan masyarakat Lirang dengan adat istiadat mereka, yang menjadi landasan dalam menjaga keharmonisan.

Mata pencaharian utama warga adalah sebagai nelayan, dan hasil laut merupakan komoditas andalan yang dijual ke berbagai wilayah, termasuk ke Atauro. Selain perikanan, beberapa penduduk juga mengelola rumput laut, beternak kambing dan babi, serta penghasil madu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti halnya di daerah perbatasan lainnya, fasilitas kesehatan dan pendidikan juga masih masih terbatas, bahkan sebagian warga harus menyeberang ke pulau lain untuk mendapatkan layanan yang lebih memadai.

Akses menuju Pulau Lirang tidak mudah. Dari Pulau Moa (pulau dimana Tiakur sebagai ibu kota kabupaten Maluku Barat Daya berada), perjalanan memakan waktu sekitar 5,5 jam dengan menggunakan speedboat Kalwedo 02 dengan mesin 200PK. Namun perjalanan akan memakan waktu lebih lama jika menggunakan kapal nelayan atau kapal perintis (Sabuk Nusantara).

Secara historis, bagi masyarakat Lirang, hubungan dengan masyarakat Atauro bukan sekadar interaksi lintas batas biasa. Ada ikatan kekerabatan yang dalam, terutama melalui acara adat dan ritual budaya yang sering melibatkan kedua belah pihak. Dalam beberapa kesempatan, warga Lirang mengunjungi Atauro untuk menghadiri acara adat atau upacara kekerabatan, dan sebaliknya, warga Atauro juga datang ke Lirang.

Tak hanya dalam aspek budaya, hubungan ini juga terjalin dalam sektor ekonomi. Nelayan dari Pulau Lirang sering membawa hasil tangkapan mereka ke Atauro untuk dijual, dan kembali ke pulau Lirang dengan membawa barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat pulau Lirang. Seringkali masyarakat Lirang juga berobat ke Atauro bahkan sampai ke Dili (ibu kota Timor Leste) karena minimnya fasilitas kesehatan yang ada di Lirang. Terkadang warga Atauro juga datang ke Lirang untuk membeli ikan. Ketergantungan ini yang kemudian memunculkan ungkapan sentimen, “Indonesia di dadaku, Timor Leste di perutku.” Ungkapan ini menggambarkan realitas keseharian mereka yang hidup di antara dua negara, baik secara emosional maupun ekonomi. Situasi ini bertolak belakang dengan kondisi umum masyarakat di perbatasan Timor Leste dengan Indonesia, di mana ketergantungan Timor Leste terhadap Indonesia sangat tinggi.

Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, Pulau Lirang memiliki potensi yang besar, terutama di sektor perikanan dan pariwisata alam. Alamnya yang masih alami dengan pantai-pantai yang indah serta potensi sumber daya laut yang melimpah bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Jika pengembangan infrastruktur dapat ditingkatkan, potensi wisata ini dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian warga.

Selain itu, budaya dan tradisi lintas batas yang kental juga memiliki daya tarik tersendiri. Masyarakat di Lirang dan Atauro dapat menjadi contoh dari kerukunan dan kekerabatan yang melintasi batas negara, memperlihatkan bahwa garis batas bukanlah penghalang bagi persaudaraan dan kedekatan. Namun sayangnya, semua aktivitas lintas batas antara masyarakat Lirang dengan Atauro tersebut dilakukan secara “tidak resmi” karena aktivitas tersebut dilakukan dengan tanpa dokumen resmi seperti Pas Lintas Batas, paspor maupun visa. Di Pulau Lirang belum ada institusi yang dapat memfasilitasi lintas batas secara resmi seperti kantor imigrasi, karantina maupun bea cukai.

Perjalanan ini membuka mata kita tentang kehidupan di perbatasan, khususnya di Pulau Lirang. Keterbatasan infrastruktur dan akses layanan dasar menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan. Harapan besar masyarakat adalah agar pemerintah memperhatikan kebutuhan infrastruktur di pulau ini sehingga kehidupan mereka bisa lebih sejahtera.

Namun di sisi lain, hubungan lintas batas yang kuat antara masyarakat Lirang dan Atauro memberikan gambaran yang menarik tentang bagaimana dua komunitas yang terpisahkan oleh batas politik bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Walaupun dipisahkan secara politik, mereka tetap merasa sebagai satu kesatuan secara budaya dan ekonomi.  (***)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *