Oleh : Fauzan, PhD
Perbatasan dan Ketertinggalan
Jika negara Indonesia diibaratkan sebagai sebuah rumah besar, maka Maluku Barat Daya (MBD) adalah salah satu pintu yang terletak jauh di timur. Di wilayah MBD, terdapat tujuh pulau kecil terluar (PPKT) dan empat diantaranya berhadapan langsung dengan negara Timor Leste, yaitu pulau Leti, pulau Kisar, pulau Wetar dan pulau Liran. Keempat pulau ini menjadi bagian dari wajah paling luar Indonesia. Namun sayangnya, meskipun mereka adalah penjaga batas wilayah negara, mereka sering kali seperti anak tiri yang jarang disapa.
Maluku Barat Daya bukanlah nama wilayah yang sering muncul di berita nasional. Tapi bagi masyarakat yang tinggal dan hidup di pulau Kisar, pulau Leti, pulau Wetar dan pulau Liran, perbatasan bukanlah konsep abstrak. Perbatasan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Dari bercocok tanam, berdagang, dan melaut, hingga barter ikan dengan warga Timor Leste, semuanya dilakukan dalam ruang hidup yang sering kali lebih terhubung ke luar negeri daripada ke ibukota kabupaten ataupun provinsi.
Kehidupan di pulau Liran misalnya, dengan jarak ke pulau Atauro di Timor Leste hanya sekitar 15 km, memungkinkan warga kedua pulau yang berbeda negara ini untuk saling mengunjungi, berinteraksi, berdagang, dan bahkan berobat. Tidak jarang masyarakat Liran memilih untuk berobat ke Atauro hingga Dili karena minimnya fasilitas kesehatan yang tersedia di pulau tersebut. Ini bukan hanya tentang nasionalisme atau loyalitas, melainkan tentang akses dan kebutuhan hidup.
Dan ironisnya, akses ke pusat pemerintahan Indonesia jauh lebih sulit dibandingkan akses menuju negara tetangga. Di wilayah Maluku Barat Daya seringkali menghadapi permasalahan seperti kapal hanya berlayar beberapa kali dalam sebulan, harga sembako bisa mencapai dua kali lipat dari harga di Ambon, nelayan dari Timor Leste seringkali melaut hingga ke wilayah Indonesia tanpa terdeteksi, dan juga sinyal jaringan telekomunikasi yang masih menjadi impian.
Negara Belum Sepenuhnya Hadir
Semua ini menunjukkan satu hal: negara belum sepenuhnya hadir di wilayah ini. Dalam visi besar pembangunan nasional, dinyatakan bahwa perbatasan menjadi beranda depan, bukan halaman belakang. namun sayangnya, hingga saat ini perhatian negara terhadap daerah ini masih bersifat simbolik. Belum ada infrastruktur dasar yang dapat menjamin kualitas hidup minimal, seperti air bersih, listrik yang stabil, jaringan telekomunikasi, ataupun transportasi reguler antarpulau.
Selama sepuluh bulan pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, isu perbatasan belum menjadi perhatian utama di media. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang telah disahkan secara tegas menetapkan Asta Cita sebagai arah kebijakan pembangunan, dengan fokus pada delapan misi utama. Asta Cita ke-2 dan ke-6, berkaitan dengan penguatan pertahanan keamanan dan pembangunan dari desa, memiliki implikasi penting bagi wilayah perbatasan. Pembangunan di perbatasan akan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, penguatan ekonomi lokal, serta peningkatan keamanan dan pertahanan.. Tantangannya terletak pada cara menerjemahkan arah besar ini menjadi kebijakan nyata di tingkat lokal.
Saat ini, pemerintah melalui Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sedang menyusun Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan (PBWN-KP) 2025–2029. Ini merupakan kesempatan berharga untuk menjadikan isu perbatasan sebagai bagian dari strategi nasional yang konkret. Rencana Induk PBWN-KP tidak hanya sekadar dokumen, tetapi juga dapat berfungsi menjembatani antara harapan masyarakat di perbatasan dan tanggung jawab negara.
Setiap pulau perbatassan di MBD memiliki masalah dan potensi yang unik. Pulau Kisar, misalnya, dikenal sebagai jalur informal antara Indonesia dan Timor Leste. Masyarakatnya gigih dan mandiri, tetapi mereka menghadapi tantangan berupa tingginya harga kebutuhan pokok dan sulitnya akses logistik. Di Liran, masalah konektivitas menjadi kendala serius; kapal hanya datang sesekali, dan selama musim ombak, mereka bisa terisolasi selama berhari-hari. Sementara itu, Wetar memiliki potensi kelautan dan perikanan yang besar, tetapi akses pasar dan perlindungan wilayah laut sangat minim.
Dalam kondisi ini, masyarakat setempat menciptakan solusi mereka sendiri. Hubungan sosial dan ekonomi informal terus berlangsung; mereka saling bertukar barang, membantu satu sama lain dalam urusan adat, dan bahkan membangun jalur komunikasi dengan dunia luar. Namun, situasi ini juga berpotensi menimbulkan konflik dan pelanggaran hukum, karena tidak ada kejelasan mengenai status hukum dan pengawasan negara.
Salah satu isu penting yang perlu diperhatikan adalah legalisasi jalur lintas batas tradisional. Hubungan sosial budaya antara masyarakat Liran dan Atauro, serta antara Kisar dan pesisir Timor Leste, telah berlangsung lama. Ini merupakan kekayaan yang bisa dikelola, bukan dihapus. Pemerintah perlu merancang sistem lintas batas yang adaptif, berbasis adat dan kebutuhan lokal, tanpa mengabaikan aspek keamanan dan kedaulatan.
Dari Perbatasan Simbolik ke Perbatasan Strategis
Salah satu kebutuhan mendesak adalah kehadiran Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Hingga kini, belum ada satu pun PLBN dibangun di wilayah MBD. Padahal, keberadaan PLBN bukan hanya soal pengawasan, tetapi juga sebagai pusat layanan dan pengembangan ekonomi. Dengan adanya PLBN, kegiatan barter, interkasi sosial-budaya, dan transaksi ekonomi dapat dilakukan secara legal, UMKM dapat tumbuh, dan identitas kewarganegaraan dapat diperkuat.
Keberadaan PLBN juga memungkinkan pemerataan informasi dan kehadiran layanan publik lainnya. Misalnya, pos kesehatan dapat dibangun berdampingan dengan pos pengawasan perbatasan. Sekolah-sekolah juga bisa mendapatkan dukungan yang lebih baik karena logistik dan sumber daya lebih terorganisasi. Bahkan, sektor pariwisata lokal dapat berkembang jika pemerintah mulai membuka kawasan ini secara lebih sistematis dan berkelanjutan.
Jika kita benar-benar ingin membangun dari pinggiran, seperti semangat Nawacita, kini saatnya kita memandang jauh ke timur, MBD. Wilayah ini bukan sekadar garis batas, tetapi cermin seberapa jauh negara hadir di ujung-ujung terluarnya. Membangun perbatasan bukan hanya tentang menjaga wilyah kedaulatan, tetapi juga menjaga martabat warganya.
Membangun Kepercayaan di Ujung Negeri
Pembangunan tidak hanya tentang infrastruktur; ini juga tentang membangun kepercayaan. Warga di Kisar, Leti, Wetar, dan Liran ingin percaya bahwa negara tidak melupakan mereka. Mereka ingin yakin bahwa ketika pemerintah menyusun rencana induk lima tahunan, suara mereka didengar. Mereka ingin merasakan bahwa menjadi warga negara Indonesia bukan hanya soal memiliki KTP atau bendera merah putih, tetapi juga mendapatkan perlakuan yang adil dan setara.
Keempat pulau perbatasan ini yaitu Kisar, Leti, Wetar, dan Liran telah menjaga Indonesia dari kesunyian. Kini saatnya Indonesia menjaganya kembali dengan langkah nyata, bukan hanya kata-kata. Sebab, sejauh apapun jarak geografis mereka dari Jakarta, mereka seharusnya tetap dekat dalam perencanaan, kebijakan, dan aksi.
Membangun perbatasan berarti membangun Indonesia. Dan itu dimulai dengan mengakui bahwa daerah seperti Maluku Barat Daya tidak berada di pinggiran, melainkan menjadi pusat perhatian kita sebagai bangsa yang satu. KALWEDO!