Sarkasme Konsistensi Penyelenggara Pemilu

Berita, Opini, Politik408 Dilihat
banner 468x60

Theo Rehiraky, — Koordinator Akademi Pemilu dan Demokrasi Indonesia, Kab. MBD

Konsistensi dimaknai sebagai sebuah komitmen yang tidak berubah-ubah, selaras dan sesuai dengan aturan. Dinamika politik Indonesia menuju Pemilihan Umum Tahun 2024 semakin mengerucutkan opini pada keberpihakan semua pihak yang dipertanyakan konsistensi dalam pengelolaan tugas, kewenangan dan kewajibannya.

Keputusan Mahkamah Konsistusi (16/10) yang memberikan ruang bagi persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden bagi usia di bawah 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjadi Kepala Daerah yang dipilih oleh rakyat, menjadi kontraversi dan trending dalam perbincangan politik bangsa saat ini.

Tak pelak, Lembaga Penyelenggara Pemilu diharapkan berdiri kokoh dalam konsistensinya mengawal demokrasi bangsa. Berbagai peristiwa yang mengisyaratkan keberpihakan penyelenggara pemilu dalam kontestasi politik sebelumnya menjadi goresan nilai yang mesti dibayar lunas pada Pemilu tahun 2024. Apalagi, hiruk-pikuk dan bahkan menembusi benteng kebohongan yang tertutup rapat dalam proses perekrutan penyelenggara pemilu baik Bawaslu maupun KPU terus didengung berbagai pemerhati demokrasi bangsa ini.

Itu berarti, Konsistensi menjadi titik tumpu perubahan opini dan tuduhan serta sarkasme yang dialamatkan bagi penyelenggara pemilu. Tugas, kewenangan dan kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang sesuai rejimnya, yakni pada Pemilihan Legislatif (DRPD Kab/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD) dan Presiden dan Wakil Presiden yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, dan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Bupati dan Wakil Bupati) yakni UU Nomor 10 tahun 2016.

Jika menjadikan pengalaman rejim Pemilu tahun 2019 lalu, maka masih banyak problem yang tersisa. Secara nasional tidak dapat dipungkiri. Margin penilaian publik akan terus bergeser menuju minus, jika turbulensi tak dapat diimbangi konsistensi.

Lagi-lagi komitmen penyelenggara menjadi fokus argumentasi publik dalam kontestasi politik saat ini. Beragam opini mengemuka menggerus kestabilan sikap kritis dan optimisme anak bangsa yang masuk dalam lingkaran apatis dan monoton melirik proses perebutan kekuasan bertameng pesta demokrasi.

Konsistensi adalah sikap yang melebihi integritas diri. Tak akan tergoyahkan jika menjadikan senjata regulasi sebagai tonggak menahan gempuran kamuflase yang bermuara pada kekuasaan. Tidak hanya konstalasi politik nasional. Di daerah-daerah juga mempertontonkan adegan politik bermuara rebut kekuasaan yang siap menggerus konsistensi penyelenggara pemilu.

Lantas, apakah mimpi publik yang menjadikan tumpuan asa pada konsistensi penyelenggara pemilu dapat diwujudkan?. Sekelumit pertanyaan dengan proses panjang dipoles realitas rekrutmen hingga berbagai pengalaman buruk, memberikan sangsi bagi publik menempatkan konsistensi sebagai sikap prioritas penyelenggara pemilu.

Kesiapan dan kesigapan berpayung hukum pemilu, undang-undang pemilu, peraturan teknis penyelenggara pemilu, baik Peraturan Bawaslu maupun Peraturan KPU. Harus dijewantahkan secara kosinsisten melalui tugas, kewajiban dan kewenangannya hingga jajaran yang paling bawah. Di sana, akan ada jawaban dari kegelisahan rakyat pada kontestasi lima tahunan merebut kekuasan politik. (***)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *