Theo Rehiraky, (Korda MBD, Akademi Pemilu dan Demokrasi-Indonesia)
H+3 pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum nampak membunyikan peluit pengawasan menertibkan kampanye di luar jadwal yang bercengkrama melalui media massa.
Malah, tak tanggung-tanggung, pertemuan terbatas yang dikemas dalam pertemuan keluarga menyisipkan ajakan berbau kampanye juga digembar-gembor memenuhi beranda media sosial (Facebook, WhatApp, Instagram, Twitter dll).
Imbauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak 27 Juni 2023 kepada Partai Politik (Parpol) peserta pemilu 2024 untuk tidak memasang Alat Peraga Sosialisasi (APS) yang menyerupai Alat Peraga Kampanye (APK) di Tempat Ibadah, Rumah Sakit dan Gedung Pemerintah termasuk fasilitas TNI/Polri dan BUMN/BUMD juga diikuti imbauan Bawaslu kepada Parpol sejak 27 Oktober 2023, sebelum jadwal pengumuman DCT sesuai PKPU nomor 10 tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, realitasnya tak digubris Parpol.
Banyak APK dan Bahan Kampanye (BK) yang sudah disebar bahkan lebih masif tebaran ajakan kampanye melalui media massa. Lantas, imbauan dengan berharap Parpol memiliki kesadaran politik? Ataukah ada langkah strategis dan upaya lain dalam penanganan pelanggaran yang menjadi domainnya Bawaslu dan jajaran?
Kampanye sesuai PKPU 3 tahun 2023 tentang jadwal, tahapan dan program baru akan dilaksanakan 28 November 2023. Itu berarti, jeda waktu hampir 24 hari parpol dan Caleg harus berpuasa mengampanyekan diri melalui berbagai kegiatan dan APK sebagaimana diamanatkan PKPU nomor 15 tahun 2023 dan telah diubah dengan PKPU nomor 20 tahun 2023 tentang jadwal dan tahapan kampanye pemilu.
Jika lebih jauh ditelisik, imbauan Bawaslu kepada Parpol justru di-follow up dengan interupsi dan tidak diindahkan. Kenapa tidak, berbagai ajakan kampanye bermunculan di media massa, bahkan Pertemuan Terbatas semakin ramai dipublikasikan.
Ruang Kampanye Masif dan Efektif
Media sosial memiliki daya mempengaruhi opini publik lebih besar daripada penyebaran APK dan BK serta kegiatan lainnya. Media sosial termasuk media massa atau ruang yang dimafaatkan sebagai komunikasi massa. Lebih efektif dan pesan lebih cepat tersampaikan kepada audience atau khalayak. Istilah komunikasi berbeda dengan komunikasi massa. Komunikasi massa adalah pesan yang tersajikan melalui media dan langsung tersampaikan kepada banyak orang. Sementara komunikasi hanya antar personal, demikian pernyataan (Jhon R Bittner/1996 yang ditulis Nurudin, MSi dalam Pengantar Kaomunikasi Massa/2007). Karena itu, perkembangan teknologi sebagai jembatan komunikasi massa juga menjadi perhatian lembaga pengawas.
Ruang yang efektif inilah yang dirambah Parpol dan Calon Legislatif (Caleg) dan jauh dari upaya pencegahan serta penanganan pelanggaran oleh Bawaslu. Pengalaman Pemilu ke Pemilu, penertiban pelanggaran kampanye di media massa tidak efisien.
Selain media massa, pertemuan berbasis keluarga menjadi masif dilakukan di masa ini. Ruang ini dianggap efektif untuk mengelabui Bawaslu dan jajaran dalam tugas pengawasan. Meskipun tak sehebat media massa, pertemuan bersama keluarga tak perlu ijin. Konsensus dan janji politik akan lebih banyak terjadi dalam pertemuan itu.
Strategi Unggulan Pengawas
Pengawas akan kelimpungan melakukan penertiban sesuai imbauan dan instruksi serta regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan tugas di lapangan. Jurus andalan pengawas selama ini yakni pengawasan partisipatif. Pengawasan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Edukasi dan sosialisasi diperbanyak. Kelompok-kelompok relawan dibentuk. Yang semuanya, berujung perilaku sadar mengawasi Pemilu dan mengawal demokrasi.
Sedikit lebih ke wilayah Maluku. Pengawasan berbasis wilayah kepulauan. Tingkat kerawanan yang juga berbeda-beda di setiap wilayah Kabupaten/Kota maupun di tingkat Desa. Karakter masyarakat secara umum mirip tetapi pendekatan-pendekatan budaya dan tradisi lebih cenderung mewarnai momentum politik di Maluku.
Di Maluku Barat Daya
Trend penggunaan media massa semakin marak. Wajib memiliki Hand Phone juga diterapkan di sekolah-sekolah pada pelajaran atau saat pelaksanaan tes berbasis teknologi. Substansinya, teknologi sudah menjadi kebutuhan masyarakat tanpa batas usia. Parpol dan Caleg di MBD ramai-ramai menyampaikan ajakan dengan flayer dan pembentukan opini. Bahkan, kelompok militan juga dibentuk untuk saling beradu konsep yang muaranya adalah ajakan kampanye.
Selain ruang media dalam grup-grup akun tertentu dimanfaatkan berkampanye, budaya dan tradisi juga dikemas dalam kepentingan politik. Ajakan kampanye di luar jadwal juga tersaji di sini.
Data BPS tahun 2020 mencatat, pemeluk Agama Kristen, 95,76 % Protestan, Katolik 0,35 % dan Islam 4,24 %. Data ini menunjukkan, isu Agama tidak cukup efektif dipakai sebagai isu ajakan kampanye. Isu wilayah, isu suku yang menjadi senjata Parpol dan Caleg. Bahkan, intimidasi kepemilikan wilayah petuanan juga marak menjelang Pemilu. “Saatnya mangente mata rumah,” begitulah pernyataan yang muncul di beranda facebook belakangan ini.
Banyak Parpol dan Caleg akan berspekulasi dengan setiap kagiatan yang dilakukan. Apalagi, jangkauan pengawas dan partisipasi pengawasan yang minim dari masyarakat, memberikan ruang terjadinya pelanggaran tanpa penanganan dan tindakan.
Itu sebabnya, di jeda waktu setelah DCT menuju masa kampanye, akan ada banyak pelanggaran yang terjadi dan Bawaslu serta jajarannya belum dapat meniup peluit menentukan pelanggaran. Publik berharap langkah strategis diikuti tindakan dapat dilakukan, sehingga dapat meminimalisir laporan dugaan pelanggaran. (***)