LenteraNusantara.Co.Id,Ambon – Tidak ada marga Pirsouw lain yang sah memiliki tanah Dusun Urik seluas lebih kurang 1.000 hektare di Negeri Piru, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, selain Josfince Pirsouw berikut ahli warisnya berdasarkan putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap (inkracht van gewisjdezaak).
Menurut putusan Pengadilan Negeri Masohi Nomor: 23/Pdt.G/2018/PN.Msh dan putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 58/PDT/2019/PT.Amb tanah dusun Urik adalah sah milik Josfince Pirsouw dan ahli warisnya.
Artinya, jika ada Pirsouw lain, seperti Nikodemus alias Niklas Pirsouw dan Alberth Pirsouw yang mengklaim ada tanah mereka di dalam Dusun Urik kepunyaan sah Josfince Pirsouw dan ahli warisnya adalah penipuan dan pembohongan publik yang menyesatkan serta merugikan masyarakat.
Karena pada saat terjadi gugatan di Pengadilan Masohi kedua orang tersebut juga menggugat Tanah Urik tersebut sebagai pihak intervensi 2 Dan intervensi 3. “Seharusnya Pemkab SBB patuh pada putusan pengadilan yang sudah menetapkan Josfince Pirsouw dan ahli warisnya sebagai satu-satunya pemilik sah Dusun Urik dan bukan bermuka dua dengan memercayai klaim Pirsouw lain,” tegas Kuasa Hukum Josfince Pirsouw, Rony Samloy, S.H, kepada LenteraNusantara.co.id di Ambon, Kamis (14/11/2024).
Menurut Samloy, masyarakat Piru dan sekitarnya diduga telah tertipu ulah Nikodemus Pirsouw yang mengklaim dirinya pemilik Dusun Urik berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Padahal, upaya kasasi yang dilakukan Nikodemus Pirsouw dalam perkara Nomor:13/Pdt.G/2021/PN.Drh berakhir dengan hasil tidak diterima atau NO (Niet Onvankelijk Verklaard). “Kalau ada masyarakat yang ukur tanah berdasarkan alas hak dari Nikodemus Pirsouw ya salah sendiri. Seharusnya masyarakat itu mengecek ke Kantor Negeri Piru atau ke Pengadilan soal siapa pemilik sah Dusun Urik. Sekarang apa jadi masyarakat yang rugi sendiri karena tidak pernah mengecek status kepemilikan Dusun Urik ini,” papar Samloy.
Begitupun dengan Alberth Pirsouw, yang diduga menggunakan surat Putusan Hila Tahun 1874 dengan mengklaim dirinya pemilik Dusun Teha. Padahal, surat putusan Hila 1874 belum pernah diuji di pengadilan serta sampai saat ini belum ada satupun putusan pengadilan yang menyebutkan Dusun Teha.
“Mayoritas saksi-saksi dalam perkara Nomor:13/Pdt.G/2021/PN.Drh menyebutkan kata “Teha” menunjuk pada sungai (kali) yang membelah sebagian Dusun Urik. Jadi, Teha itu nama sungai (kali) bukan dusun,” jelas Samloy.
Dia meminta Pemkab SBB dapat memanggil Josfince Pirsouw dan ahli warisnya untuk membicarakan proses ganti rugi atau ganti untung atas banyaknya bangunan pemerintah yang berdiri di atas lahan Dusun Urik, sehingga tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.
“Kalau penjabat Bupati SBB (Abdul Jais Ely) lebih memfokuskan diri untuk urusan politik ya biar saja. Kita tunggu bupati SBB definitif nanti untuk menyikapi hal ini sebab masyarakat banyak yang menjadi korban penipuan orang-orang tidak bertanggung jawab yang mengklaim diri pemilik Dusun Urik, padahal hanya Josfince Pirsouw yang diakui dan ditetapkan pengadilan sebagai pemilik Dusun Urik,” ujar Samloy.
Saat ini, lanjut Samloy, ahli waris Josfince Pirsouw telah memasang papan larangan di sekitar Tugu Oma-Opa dan sekitarnya dan sudah pernah membuat Surat ke pihak Kepolisian mengenai papan larangan tersebut. “Jadi papan larangan tersebut atas izin kepolisian,” tutur Samloy. (LN-04)