Lenteranusantara.Co.Id, Ambon – Potret kemerdekaan Indonesia yang gegap gempita di berbagai wilayah dengan bentuk kegiatan dan rasa syukur di usia ke-80 tahun, justru tak sedikitpun dirasakan warga Elpaputih, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, Indonesia Timur.
Hidup sengsara dan terisolasi, harus menempuh jarak hingga 30 kilometer untuk menandu orang sakit dan ibu hamil ke pusat kesehatan masyarakat terdekat. Mirisnya kehidupan masyarakat di wilayah pegunungan pulau seram itu butuh perhatian dan lirikan mata hati penguasa di negeri ini.
Karenanya, Bupati Seram Bagian Barat, Asri Arman diminta tidak menutup telinga dan mata untuk mendengar dan melihat langsung kehidupan masyarakat di wilayah Pegunungan Pulau Seram yang serba kekurangan dan nyaris berada di jurang kemiskinan dan keterisolasian wilayah itu.
Sejumlah desa seperti Abio, Ahiolo, Watui, hingga Huku Kecil masih hidup dalam keterisolasian. Infrastruktur berupa jalan beraspal, jembatan beton, ketersediaan jaringan listrik, bahkan Pusat Layanan kesehatan seperti puskesmas dan puskesmas pembantu pun tidak tersedia.
Alhasil, untuk menjangkau pusat layanan kesehatan yang memadai maupun fasilitas publik lainnya, warga harus rela berjalan puluhan kilometer, menerobos hutan, melintasi sungai, dan melewati jalan tanah yang licin serta rawan longsor.
Kisah pilu itu pernah dialami Imanuel Bitalessy, 67, warga Desa Huku Kecil, yang dalam keadaan sakit parah terpaksa ditandu menggunakan bambu sejauh lebih dari 30 kilometer menuju puskesmas terdekat. Mobil ambulans, tenaga dokter, maupun tenaga medis hanyalah mimpi yang belum pernah dirasakan masyarakat Elpaputih selama Republik Indonesia maupun Provinsi Maluku didirikan.
Kepala Desa Huku Kecil, Yopi Bitalessy, mengungkapkan bahwa penderitaan yang laten dialami masyarakat setempat bukan hal baru.
“Katong (kita) susah sekali dengan akses jalan. Kalau ada orang sakit, katong harus tandu dengan bambu dan berjalan puluhan kilometer. Jalan rusak, becek, bahkan longsor. Kadang harus bawa bekal karena perjalanan bisa lebih dari 10 jam,” tutur Bitalessy perih sebagaimana dikutip lenteranusantara.co.id dari Babeto.Id, Sabtu (16/8).
Situasi serupa juga dialami ibu hamil (bumil) yang hendak melahirkan. Tanpa bidan, perawat, dan fasilitas persalinan, mereka kerap ditandu untuk secepatnya mendapatkan pertolongan medis.
Saat musim penghujan, penderitaan masyarakat Elpaputih makin berat karena warga harus menyeberangi “Kali Nui” di tengah arus deras.
“Kalau musim hujan, susah sekali menyeberang. Kadang bisa lebih dari 10 jam untuk sampai ke puskesmas,” lanjut Bitalessy.
Kisah pilu ini menjadi bukti sahih betapa jurang kesenjangan pembangunan dan kemiskinan masih terus menganga masuk delapan dasawarsa kemerdekaan RI dan berdirinya Maluku. Ketika kota-kota lain menikmati infrastruktur modern dengan fasilitas kesehatan lengkap, warga Elpaputih masih harus bertaruh nyawa hanya untuk mendapatkan pengobatan dasar seadanya.
“Kami di pegunungan Elpaputih belum merdeka. Negara harus hadir dan adil untuk kami,” tegas Bitalessy. (LN-04)