Lenteranusantara.Co.Id, Ambon,- Tiga petugas Rumah Sakit (RS) Bhakti Rahayu Kota Ambon yang mengeluhkan gaji tidak sesuai Upah Minum Kota Ambon bersama pihak RS Bhakti Rahayu dan Dinas Ketenagakerjaaan Kota Ambon dipertemukan di ruang rapat kantor DPRD Kota Ambon, Kamis (28/11).
Melalui Komisi I DPRD Kota Ambon, kuasa hukum RS Bhakti Rahayu dan kuasa hukum tiga petugas diminta menjelaskan permasalahan yang terjadi. Rapat ini dihadiri seluruh anggota komisi, dan dipimpin Ketua Komisi, M. Aris Soulisa.
Saat memimpin rapat, Soulisa menyampaikan bahwa permasalahan utama yang adalah status gaji dan mutasi ketiga perawat yang bekerja di rumah sakit tersebut. Ia menegaskan bahwa gaji yang diterima oleh ketiga pekerja itu masih menggunakan standar yang berlaku sekitar sembilan hingga sepuluh tahun lalu.
“Menurut yang dilaporkan, gaji pokok mereka hanya sekitar Rp1 juta, ditambah tunjangan Rp400 ribu. Ada yang menerima hingga Rp1,3 juta setelah dipotong BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Padahal, kata Soulisa, angka tersebut jauh di bawah Upah Minimum Kota Ambon tahun 2025 yang saat ini telah mencapai Rp 3.195.000. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait. “Jadi ini harus menjadi perhatian utama agar kesejahteraan pekerja bisa terpenuhi,” tegasnya.
Tak hanya itu, ketidakjelasan status mutasi dan hak-hak pekerja lainnya juga menjadi pembahasan komisi. Soulisa menyebutkan, ketiga perawat tersebut telah menyampaikan keinginan mereka untuk mutasi ke Surabaya. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak manajemen Rumah Sakit. Mereka juga menanyakan tentang gaji dan tempat tinggal selama proses mutasi, tetapi tidak mendapatkan respon yang memuaskan dari pihak rumah sakit.
Sampai saat ini, lanjut Soulisa, ketiga pekerja tersebut belum menerima SK Pemberhentian resmi sebagai pegawai rumah sakit. “Informasi dari ketiga perawat, mereka sampai hari ini belum menerima SK pemberhentian sebagai pegawai,” ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum Rumah Sakit Bhakti Rahayu, Ros J. Alfaris, menyampaikan bahwa pihak manajemen rumah sakit tidak pernah melakukan pemecatan terhadap ketiga pekerja. Menurutnya, yang melakukan pemecatan adalah pihak CV. Joitir Krisna, bukan manajemen rumah sakit.
“Kami dari pihak manajemen menyatakan bahwa tidak memecat siapapun. Pemecatan dilakukan oleh CV. Joitir Krisna,” katanya.
Sedangkan Arens Corputy, Pihak Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Ambon yang juga dihadirkan dalam rapat tersebut menyampaikan bahwa rumah sakit harus tetap mengikuti ketentuan Upah Minimum Kota (UMK) yang berlaku. “Bhakti Rahayu harus mengikuti peraturan UMK yang berlaku di Kota Ambon,” ujarnya.
Kuasa hukum dari ketiga pekerja juga menyampaikan bahwa mereka sebelumnya telah menyampaikan keluhan kepada Direktur Rumah Sakit, terkait janji mutasi dan kenaikan gaji. Namun, hingga saat ini, tidak ada respon dari pihak rumah sakit, sehingga mereka merasa kecewa dan merasa hak-haknya diabaikan.
Kuasa hukum meminta direktur RS Bhakti Rahayu mempertimbangkan persoalan ini secara serius. “Kami berharap Ibu Maya dapat meninjau kembali dan menyelesaikan persoalan ini demi keadilan dan kesejahteraan para pekerja,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum RS Bakti Rahayu menyampaikan bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan sepihak. Ia berjanji akan segera menghubungi pihak manajemen rumah sakit untuk mengupayakan mediasi ulang. “Kami tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tetapi akan segera menghubungi pihak manajemen untuk mengadakan mediasi kembali,” tuturnya.
Sebelum menutup rapat, Soulisa berharap, forum ini dapat menjadi langkah awal untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ketenagakerjaan di Kota Ambon, khususnya terkait hak dan kesejahteraan pekerja di sektor kesehatan. Pemerintah kota dan pihak terkait diimbau untuk segera mengambil tindakan nyata agar hak-hak pekerja terlindungi dan kondisi kerja yang adil dapat terwujud. (LN-04)













