Oleh : Fahmi Sallatalohy, Staf Pengajar Universitas Islam Negeri AM Sangadji Ambon
Berbicara tentang sopi, asumsi orang selalu pada dua masalah, dilarang atau tidak dilarang. Tetapi asumsi seperti itu cenderung tidak menyelesaikan masalah karena praktek konsumsi sopi dan pemanfaatan sopi sebagai basis konomi komunitas telah berlangsung lama. Bahkan untuk wilayah-wilayah tertentu sopi dijadikan sebagai mata pencaharian pokok dengan tujuan jangka panjang, menghidupkan rumah tangga keluarga, menyekolahkan anak, mengurus anak kerja dan lain-lain. Sopi secara konsumtif memang mendorong ekonomi keluarga bagi mereka yang selalu memproduksi sopi dengan pola fermentasi berciri khas Maluku. Alasan-alasan ekonomi struktural selalu menjadi dasar utama yang mendorong masyarakat untuk tetap memproduksi dan mengedarkan sopi, bukan semata-mata karena tradisi atau budaya, melainkan sebagai komoditas ekonomi rumah tangga.
Dalam perkembangan selanjutnya, sopi tidak hanya dipahami sebagai minuman tradisional semata, tetapi mengalami transformasi makna yang kompleks. Ia berfungsi ganda, di satu sisi sebagai warisan budaya takbenda yang melekat dalam ritus adat, relasi sosial, dan praktik spiritual masyarakat Maluku; di sisi lain, sebagai komoditas ekonomi rumah tangga yang menopang kehidupan keluarga, terutama di wilayah-wilayah dengan keterbatasan akses sumber pendapatan formal. Produksi dan konsumsi sopi menyimpan nilai simbolik dan fungsi sosial yang kuat, termasuk sebagai tanda penerimaan, solidaritas, dan kekerabatan dalam berbagai upacara adat. Namun, sopi juga menjadi objek perdebatan antara pelestarian tradisi dan kebutuhan regulasi negara, terutama dalam konteks keselamatan publik, hukum nasional, dan keberagaman pandangan keagamaan. Dilema ini mencerminkan ketegangan antara hak budaya komunitas lokal dan tata kelola negara modern, serta membuka ruang untuk meninjau kembali bagaimana warisan budaya dapat ditempatkan secara adil dalam kerangka hukum dan pembangunan yang inklusif.
Perdebatan tentang apakah sopi dapat dilegalkan atau tidak, memunculkan ketegangan antara komunitas yang pro dan yang kontra. Namun, sikap tersebut cenderung ambivalen, karena kerap kali tidak berpijak pada kerangka nilai yang konsisten. Penilaian dari komunitas yang menolak legalisasi lebih banyak dipengaruhi oleh kekhawatiran terhadap potensi disrupsi terhadap tatanan normatif dan subsistem sosial yang telah mapan. Kekhawatiran ini bersifat normatif dan simbolik, terutama berkaitan dengan bayangan akan dekadensi moral, liberalisasi konsumsi, serta kekaburan otoritas adat atas regulasi budaya. Sementara itu, dalam praktik sehari-hari, distribusi dan konsumsi sopi justru berlangsung secara informal dan terselubung (covert circulation), yang menciptakan ruang abu-abu antara legalitas dan legitimasi sosial.
Kondisi ini mencerminkan adanya paradoks regulatif, di mana negara belum memiliki instrumen kebijakan yang mampu mengakomodasi nilai-nilai lokal secara holistik, sementara masyarakat adat sendiri beroperasi dengan logika kultural yang bersifat otonom. Dengan demikian, problem sopi tidak hanya terletak pada aspek legalitas formal, tetapi juga pada persoalan rekognisi kultural, regulasi hibrida, dan tata kelola sosial berbasis nilai lokal (vernacular governance). Dalam konteks ini, pendekatan yang represif tanpa negosiasi nilai dapat memperlebar jarak antara negara dan komunitas adat, serta memperdalam ketegangan antara hukum positif dan hukum hidup (living law) yang dijalankan oleh masyarakat
Menurut hemat saya, di sinilah letak problemnya sehingga sampai sekarang “kearifan lokal” ini, (mengapa saya menggunakan kata “kearifan lokal”?) karena sopi diproduksi tidak semata-mata sebagai hasil fermentasi tradisional, tetapi sebagai bagian dari sistem nilai, pengetahuan lokal, dan praktik budaya yang diwariskan antar generasi. Proses produksinya melibatkan teknik, waktu, dan tata cara yang telah diatur secara sosial, serta dijalankan dalam kerangka etika kolektif yang menghargai keseimbangan alam, solidaritas sosial, dan keberlangsungan hidup komunitas. Dalam konteks ini, sopi tidak hanya dipahami sebagai produk konsumsi, tetapi sebagai manifestasi dari relasi manusia dengan lingkungan dan sesamanya yang dilandasi prinsip gotong royong, kepercayaan, dan tanggung jawab komunal. Permasalahannya adalah, sistem nilai apa yang perlu dilestarikan dari praktik konsumsi sopi di masyarakat? Apakah nilai kebersamaan dan solidaritas yang terbangun melalui ritual-ritual adat, ataukah kebiasaan konsumsi harian yang mulai keluar dari konteks budaya dan mengarah pada pola hidup konsumtif? Di sinilah letak dilema untuk membedakan antara sopi sebagai simbol kearifan lokal dan sopi sebagai komoditas sosial yang dapat menimbulkan dampak negatif jika lepas dari kontrol adat.
Di satu sisi, sopi dianggap oleh sebagian komunal masyarakat memiliki nilai simbolik, sosial, dan spiritual. Sopi dianggap sebagai media pemersatu, penanda identitas budaya, dan pengikat relasi sosial dalam berbagai praktik adat seperti pela gandong, sumpah adat, sasi laut dan perkawinan, hingga penyelesaian konflik. Kehadirannya tidak sekadar sebagai minuman, tetapi mengandung makna simbolik yang dalam yaitu menunjukkan rasa hormat, mempererat solidaritas, dan menjadi sarana komunikasi antar generasi. Dalam konteks ini, sopi melekat sebagai bagian dari ekspresi budaya dan sistem nilai lokal yang sudah berlangsung turun-temurun.
Di sisi lain, sopi bukan semata-mata produk alkohol, melainkan bagian dari identitas kolektif dan mekanisme sosial yang mengatur relasi antar manusia dalam komunitas adat tertentu. Misalnya, dalam upacara perdamaian, atau pengangkatan kepala soa, sopi hadir sebagai tanda sah, perekat hubungan, dan sarana penyampaian niat baik serta penghormatan.
Sopi memiliki nilai solidaritas komunal karena keberadaannya menghidupkan relasi sosial diantara mereka dan memperkuat struktur sosial berbasis kekeluargaan. Dalam komunitas tertentu sopi juga berfungsi sebagai “alat legitimasi budaya”, yang menandai keabsahan tindakan sosial dalam bingkai adat tertentu. Dalam pengertian ini, melarang total sopi tanpa memahami konteks sosial dan nilai-nilai yang melekat padanya cukup berisiko dan menimbulkan resistensi budaya dan bahkan keretakan hubungan sosial dalam komunitas. Sebab, bagi sebagian besar masyarakat adat di Maluku, sopi bukan sekadar minuman, melainkan bagian dari siklus hidup sosial: hadir saat orang dilahirkan, menikah, menyelesaikan konflik, hingga saat seseorang meninggal dunia. Dalam konteks itu, sopi memiliki fungsi integratif, yaitu menyatukan orang dalam suasana sukacita maupun duka, sekaligus memperkuat kesepakatan dan solidaritas dalam antar sesame komunal mereka.
Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap kebiasaan konsumsi sopi dalam konteks sosial dan budaya komunal tertentu disebut sebagai bentuk legitimasi budaya atau bisa juga sebagai konsensus kultural. Artinya, praktik minum sopi dianggap sah dan diterima secara luas oleh masyarakat karena memiliki dasar historis, simbolik, dan nilai sosial yang kuat. Sopi dilihat sebagai bagian sah dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai penyimpangan. Terdapat kesepahaman bersama dalam komunitas, bahwa minum sopi adalah sesuatu yang biasa, bahkan diharapkan, dalam situasi sosial tertentu. Tidak ada penolakan signifikan dari dalam komunitas sendiri terhadap kebiasaan ini. Kebiasaan minum sopi bisa dipahami sebagai bagian dari habitus komunal tertentu dalam masyarakat Maluku, yaitu pola pikir dan tindakan yang terbentuk dari sejarah sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itu, kebiasaan ini dilakukan secara otomatis dan dianggap “wajar”.
Ada beberapa alasan sosiologis dan antropologis mengapa hal ini terjadi: (1). Pembiasaan sejak dini dalam konteks sosial: anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam lingkungan di mana sopi hadir dalam acara adat, ritual penghormatan leluhur, atau pertemuan sosial akan mengalami pembelajaran sosial secara tidak langsung. Dalam sosiologi, ini disebut socialization into norm (proses sosialisasi terhadap norma). Contoh: Jika seorang anak melihat bahwa pamannya atau tetua adat selalu menuangkan sopi dalam ritual adat, maka ia akan memahami bahwa minuman itu bukan sekadar alkohol, melainkan bagian dari peristiwa sosial yang bermakna. (2). Penanaman nilai tradisi lewat struktur sosial. Dalam komunal tertentu, tradisi diwariskan melalui struktur otoritas seperti tetua adat, ama–ina, atau tokoh agama lokal, yang ikut membentuk persepsi kolektif bahwa sopi memiliki fungsi simbolik dan bukan hanya konsumtif. Maka, tindakan minum sopi dalam konteks adat dianggap bukan penyimpangan, tapi ungkapan penghormatan, penerimaan, atau penyelesaian dalam masalah adat. (3). Pengulangan yang membentuk kebiasaan kolektif. Menurut Pierre Bourdieu, dalam bukunya “Outline of a Theory of Practice” (1977) bahwa ketika suatu tindakan terus-menerus dilakukan dalam konteks sosial yang sama, ia akan membentuk habitus: sistem disposisi yang membuat individu secara otomatis mengulangi pola tersebut tanpa merasa aneh atau salah. Karena itu, tindakan minum sopi dianggap “wajar” karena sudah lama dilakukan, diterima komunitas, tidak dikritik dalam ruang adat, bahkan dilegitimasi melalui simbol dan bahasa budaya. Di samping itu keyakinan terhadap nilai-nilai yang mendasari konsumsi sopi sudah begitu melekat dalam identitas dan cara pandang komunal, sehingga menjadi bagian dari diri mereka.
Jika kita ingin mempertegas posisi budaya yang kuat, kemudian tidak boleh menyepelekan satu prinsip tunggal bahwa sopi juga dapat menimbulkan masalah sosial lain yang lebih sporadis di masyarakat, seperti meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga, gangguan keamanan dan ketertiban umum, kecelakaan lalu lintas akibat konsumsi berlebih, serta memburuknya kondisi kesehatan individu. Dalam beberapa kasus, sopi tidak lagi dikonsumsi dalam konteks ritual atau relasi sosial tradisional, melainkan beralih menjadi konsumsi bebas yang lepas dari norma adat, sehingga mengaburkan batas antara kearifan lokal dan praktik destruktif. Fenomena ini menandakan adanya pergeseran makna serta lemahnya kontrol sosial terhadap penggunaan sopi di luar konteks budaya aslinya.
Penggunaan sopi diatur secara tidak tertulis melalui etika adat, seperti siapa yang boleh membuat, kapan boleh dikonsumsi, dalam acara apa, dan oleh siapa. Dalam banyak negeri adat di komunal tertentu, sopi tidak diminum sembarangan, tetapi disuguhkan oleh tetua adat atau orang yang memiliki otoritas budaya. Dengan demikian, sopi berfungsi sebagai media penghormatan, tanda kepercayaan, dan simbol penerimaan dalam relasi sosial. Karena itu, pembacaan terhadap sopi tidak dapat dipisahkan dari konteks nilai-nilai lokal yang hidup dan dijaga dalam praktik sehari-hari. Jika kebiasaan ini diberangus secara sepihak, yang terjadi bukan hanya penghapusan terhadap sebuah minuman, melainkan pemutusan ingatan kolektif dan peminggiran terhadap cara hidup orang Maluku yang telah berjalan lintas generasi.
LEGALISASI TERBATAS
Bagaimana merespon dilema antara legalisasi sopi dan dampak negatif sosialnya? Menurut hemat saya, jika pendekatannya hanya represif atau legalistik, itu berisiko memutus ingatan kolektif dan cara hidup lintas generasi. Karena itu, langkah strategis yang disarankan harus bersifat transformatif kultural, bukan sekadar hukum formal. Rumusan stragtegisnya bisa diungkapkan dalam beberapa pola (1). Legalisasi terbatas dan revitalisasi adat. (2). Pemahaman kontekstual berbasis budaya. Dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten dan kota dalam zona tertentu perlu mengakui sopi sebagai bagian dari warisan budaya takbenda, bukan sekadar produk alkohol. Ini menjadi dasar etis dan filosofis untuk kebijakan berbasis penghormatan terhadap tradisi. (3). Melakukan revitalisasi etika adat yaitu bekerja sama dengan dewan adat untuk menyusun kode etik konsumsi sopi: siapa, kapan, di mana, dan untuk apa sopi digunakan. (4). Aturan adat yang hidup harus dijadikan basis penyaringan sosial, bukan digantikan aturan negara secara sepihak.
Dengan demikian, kebijakan publik tidak boleh bersifat hegemonik yang menyingkirkan kearifan lokal, melainkan harus bersifat dialogis dan resiprokal mengakui bahwa etika adat adalah mekanisme sosial yang telah teruji dalam menjaga kohesi dan keteraturan komunal. Revitalisasi etika adat ini sekaligus menjadi bentuk rekognisi,, di mana pengetahuan lokal tidak dianggap inferior, tetapi dihormati sebagai fondasi normatif yang sah. Dalam hal ini, aturan adat berfungsi sebagai modal simbolik (Bourdieu, 1977) yang menciptakan legitimasi dalam praktik sosial. Negara seharusnya mengambil peran sebagai fasilitator, bukan dominator, yang memastikan bahwa kontrol sosial terhadap konsumsi sopi tetap berpijak pada struktur nilai dan sistem sanksi yang berlaku dalam komunitas adat. Kolaborasi ini akan memperkuat governance hibrida yang memungkinkan berlangsungnya regulasi berbasis budaya, yang adaptif namun tetap berorientasi pada kesejahteraan dan ketertiban bersama.
ZONA TERBATAS
Upaya legalisasi terbatas dan terkontrol dapat dijajaki melalui pendekatan berbasis zonasi kultural, dengan menjadikan wilayah-wilayah tertentu sebagai model percontohan. Misalnya, Maluku Barat Daya (MBD) dapat dipilih sebagai zona awal karena secara historis dan sosiokultural dikenal sebagai salah satu daerah penghasil sopi yang memiliki sistem nilai dan regulasi adat yang masih kuat. Dalam konteks ini, legalisasi tidak dilakukan secara menyeluruh, tetapi melalui pendekatan bertahap, berbasis pengakuan terhadap tata kelola adat lokal yang telah terbukti mampu mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi sopi secara kolektif dan beretika.
Zona ini dapat berfungsi sebagai laboratorium sosial untuk merancang model regulasi hibrida antara negara dan masyarakat adat, dengan mengedepankan prinsip-prinsip rekognisi budaya, pengawasan partisipatif, serta penguatan kapasitas kelembagaan adat. Dengan demikian, negara tidak serta-merta melegalkan alkohol, tetapi membangun mekanisme pengakuan dan pengawasan yang kontekstual, berbasis nilai-nilai lokal. Keberhasilan model di zona ini dapat dijadikan dasar untuk perluasan kebijakan di wilayah adat lain yang memiliki struktur sosial dan sistem pengendalian yang serupa.
Dengan memilih Maluku Barat Daya (MBD) sebagai lokus percontohan zona terbatas legalisasi sopi, diharapkan masyarakat lebih proaktif menunjang pengelolaan sopi secara bertanggung jawab, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi, dengan tetap berpijak pada norma-norma adat yang hidup. Legalitas terbatas ini tidak dimaksudkan untuk mendorong konsumsi bebas, melainkan sebagai bentuk pemberdayaan lokal berbasis kultural, di mana masyarakat adat diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme kontrol sosial internal. Pendekatan ini dapat menciptakan model governance partisipatif yang menjadikan masyarakat sebagai subjek kebijakan, bukan sekadar objek kontrol negara. Jika berhasil, skema ini dapat direplikasi di wilayah adat lainnya, dengan adaptasi sesuai karakter lokal masing-masing.
Berdasarkan skema zona tersebut, masyarakat lewat pengembangan alternatif ekonomi perlu program transisi seperti pelatihan membuat produk fermentasi legal lain (misalnya cuka, etanol medis, atau bahan kuliner), tetapi tetap melibatkan kearifan lokal. sementara pola strategi kebijakan berbasis komunitas (Community Based Policy), kebijakan dibentuk bersama komunitas adat, bukan dari atas ke bawah. Dengan beberapa pendekatan, yaitu, pendekatan partisipatif, mempertemukan representasi komunitas agama, adat, pemerintah, dan LSM dan melibatkan mereka dalam mengkaji konsep integrasi adat dan negara yaitu bahwa pemerintah tidak menghilangkan peran adat, tetapi justru menjadikannya mitra regulatif dalam sistem sosial dan hukum lokal.
Merelaksasi peta sosial sopi adalah sebuah konsep pemetaan partisipatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan wilayah-wilayah: produksi sopi (wilayah adat yang masih memproduksi sopi sebagai bagian dari tradisi dan ekonomi lokal), konsumsi sopi (wilayah yang secara adat atau sosial masih mempraktikkan konsumsi sopi), tingkat penerimaan atau penolakan sopi (wilayah yang menolak sopi secara moral, agama, atau hukum adat), zona abu-abu (wilayah-wilayah yang belum jelas posisi budayanya, atau ada ketegangan antar komunitas mengenai sopi). Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan adalah (1). Mencegah kebijakan pukul rata yang bisa menimbulkan konflik antar komunitas. (2). Menjadi dasar bagi perumusan Perda atau kebijakan kabupaten/kota berbasis adat (3). Menyediakan data objektif untuk dialog budaya, konsultasi publik, dan penyusunan SOP adat dan pemerintah. (4). Menjadi model pendekatan resolusi konflik sosial-budaya berbasis pemetaan sosial di daerah lain.
Dengan demikian, langkah ideal bukan melarang total atau melegalkan bebas, melainkan menginstitusikan nilai-nilai budaya sopi secara selektif dan kontekstual dalam bingkai etika lokal. Tujuannya adalah merawat memori budaya, meminimalkan dampak negatif sosial, dan mendorong transisi sosial ekonomi yang adil bagi pembuat dan pemakainya.
Pemerintah daerah perlu mengakui sopi sebagai bagian dari warisan budaya takbenda, bukan sekadar produk alkohol. Ini menjadi dasar etis dan filosofis untuk kebijakan berbasis penghormatan terhadap tradisi. Bagaimana dengan masyarakat yang tidak mengakui sopi, atau menolak legalisasi sopi? Pertanyaan ini setidaknya mengacu pada prinsip dasar atas pengakuan bukan pemaksaan. Mengakui sopi sebagai warisan budaya tidak berarti mewajibkan atau memaksakan seluruh masyarakat untuk menerimanya. Jadi, kelompok masyarakat yang menolak sopi tetap diberi ruang aman untuk menjalankan nilai-nilainya, tanpa dipaksa menerima praktik budaya yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka.
KEBIJAKAN ASIMETRIS
Pemerintah dapat menerapkan pendekatan asimetris, yang berarti bahwa tidak semua kelompok masyarakat diperlakukan dengan cara yang sama, karena kebutuhan dan posisi sosial-budaya mereka juga tidak sama, yaitu (1). Memberi pengakuan dan perlindungan terhadap komunitas pembuat/pewaris budaya sopi, (2). Memberi jaminan non intervensi terhadap komunitas yang menolak sopi, seperti kelompok agama tertentu. Contohnya: wilayah konsumsi sopi dibatasi hanya pada ruang adat, bukan ruang publik yang plural. Zona toleransi budaya dibatasi pada negeri adat yang secara aktif mempertahankan tradisi tersebut, bukan berlaku umum seluruh kabupaten/kota. (3). Dialog antar komunitas. Pemerintah perlu memfasilitasi dialog terbuka antara kelompok adat yang mempertahankan sopi dan kelompok masyarakat (agama, pemuda, perempuan) yang menolak. Tujuannya menumbuhkan saling pengertian, bukan saling menghakimi, mencari titik temu etik, misalnya “boleh diproduksi tapi tidak dikonsumsi sembarangan.”
Legalitas sopi bisa dikembangkan dalam bentuk izin berbasis adat yaitu dengan pola produksi sopi dilegalkan hanya dalam konteks upacara adat dan ekonomi tradisional, tapi dilarang keras untuk distribusi bebas dan konsumsi publik yang dapat mengganggu moral umum. Sopi bisa diakui sebagai bagian dari kearifan lokal tanpa harus mengancam nilai moral masyarakat luas. Kuncinya adalah membuat kebijakan yang menghormati pluralitas, menghindari generalisasi, dan menempatkan praktik budaya dalam batas ruang yang tertentu, terkendali, dan berbasis etika lokal.
Secara rasional, masyarakat perlu menyadari bahwa nilai-nilai dalam komunal tersebut tidak bersifat absolut dan berisiko merubah praktik konsumtif yang tidak terkontrol. Ketika sopi keluar dari kerangka adat dan menjadi komoditas bebas di pasar atau dikonsumsi secara berlebihan di luar konteks kultural, maka fungsinya berubah: dari simbol budaya menjadi potensi bahaya sosial. Di titik inilah muncul kebutuhan akan regulasi, baik melalui pendekatan kesehatan masyarakat, perlindungan anak dan remaja, maupun penguatan otoritas adat agar nilai-nilai budaya tetap terjaga. Sebagai sistem hidup nilai komunitas adat yang berbasis pada kearifan lokal: nilai-nilai seperti masohi (kerja bersama), hidup orang basudara (solidaritas kekerabatan), dan prinsip keseimbangan antara manusia dan alam. Dalam kerangka ini, sopi bukan sekadar barang konsumsi, melainkan bagian dari sistem simbolik yang memiliki fungsi spiritual, sosial, dan budaya. Namun di sisi lain, secara komunal, sopi dianggap mendatangkan “bencana” karena menimbulkan kerawanan dan gangguang kamtibmas, bahkan seseorang yang menkonsumsi sopi melewati takaran maksimal justru menyebabkan kematian.
Dalam sistem ini, alkohol dianggap sebagai substansi yang perlu dikendalikan secara ketat karena berpotensi merusak kesehatan, menimbulkan kriminalitas, dan menciptakan disfungsi sosial jika tidak diatur. Sistem nilai negara bersifat generalistik dan tidak membedakan antara sopi sebagai simbol budaya dan alkohol sebagai komoditas.
Ketegangan muncul karena kedua sistem nilai ini, adat dan negara berjalan dengan logika yang berbeda dan sering kali tidak saling mengenal. Masyarakat adat mungkin merasa bahwa intervensi negara bersifat homogen dan menghapus makna simbolik sopi, sementara negara memandang ketiadaan regulasi formal sebagai celah yang membahayakan publik.
Dengan demikian, wacana legalisasi sopi harus menjawab: apakah yang dijadikan dasar adalah sistem nilai adat yang bersifat partikular dan kontekstual, atau sistem nilai negara yang universal dan normatif? Atau mungkinkah dirumuskan suatu bentuk hibridasi hukum dan dialog nilai, di mana sopi diakui sebagai warisan budaya takbenda, namun diatur dalam kerangka etika konsumsi dan produksi yang sehat. Apakah semua itu terwujud, berhasil dan tidaknya legalisasi sopi dikembalikan kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan. (***)