RUMAH IBADAH DI RUSAK, BANGSA DIAM, MINORITAS TERSISIH

Opini215 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Fahmi Sallatalohy, Staf pengajar Universitas Islam Negeri AM Sangadji Ambon

Dalam banyak masyarakat, suara mayoritas sering kali menentukan arah sejarah. Namun, diamnya mayoritas, baik disengaja maupun tidak juga dapat menjadi ruang sunyi yang melanggengkan ketidakadilan. “Diamnya bangsa” bukan sekadar absennya suara, melainkan dapat bermakna lebih dalam: sebuah bentuk ketidakpedulian kolektif, ketakutan untuk menyuarakan kebenaran, atau bahkan keengganan untuk berdiri bersama yang tertindas. Diam bisa menjadi bentuk persekongkolan pasif, ketika keheningan dipelihara demi kenyamanan status quo, atau karena rasa aman yang bersumber dari privilese.

Dalam situasi seperti ini, minoritas dibiarkan menanggung beban sejarah sendirian, tanpa perlindungan, tanpa pengakuan, dan sering kali tanpa harapan. Ironisnya, dalam sistem demokrasi yang menjunjung suara rakyat, suara-suara minoritas justru kerap tidak dianggap sebagai bagian dari “rakyat” itu sendiri. Mereka menjadi semacam orang lain internal dalam rumah kebangsaan—selalu ada, tetapi tidak pernah sepenuhnya diakui.

Minoritas bukan sekadar statistik. Mereka adalah kelompok-kelompok rentan yang hidup dalam bayang-bayang struktur dominan: etnis minoritas yang terpinggirkan secara sosial, komunitas agama yang kerap jadi kambing hitam politik, perempuan dan kelompok gender non-normatif yang menghadapi diskriminasi sistemik, serta penyandang disabilitas yang terhapus dari ruang publik dan kebijakan. Tidak jarang, mereka menjadi sasaran ujaran kebencian, diskriminasi kebijakan, penghapusan sejarah, bahkan kekerasan fisik dan simbolik.

Yang membuat situasi ini lebih menyakitkan adalah absennya respons kolektif yang adil. Ketika pelanggaran hak minoritas terjadi, sering kali kita hanya melihat kesunyian: negara tidak segera bertindak, masyarakat luas memilih diam, media bergerak lambat atau malah ikut membentuk stigma. Ketidakadilan terhadap mereka bukan hanya terletak pada tindakan represif, tetapi juga dalam kebungkaman publik yang memungkinkan ketidakadilan itu terus berlangsung—apa yang disebut sebagai bentuk bystander injustice. (Ketidakadilan oleh pihak yang membiarkan)

Ketika sebuah bangsa memilih untuk diam di ruang kelas, di media, di meja legislasi maka yang muncul bukan hanya ketenangan, melainkan ketimpangan. Ketika narasi besar bangsa mengabaikan suara-suara kecil, maka keadilan pun menjadi ilusi. Dan di sinilah luka kolektif itu bermula: dari diam yang terlalu panjang, dan dari keberpihakan yang tak pernah datang.

Diamnya bangsa bukanlah netralitas; ia adalah posisi. Dan selama suara minoritas terus dibungkam oleh sunyi yang disengaja, maka kita semua turut bertanggung jawab atas ketertindasan yang berlangsung. Diam bukan hanya soal tidak bersuara, melainkan juga soal tidak hadir: tidak hadir dalam solidaritas, tidak hadir dalam keberanian moral, dan tidak hadir dalam keputusan-keputusan penting yang menyangkut nasib sesama warga bangsa. Di tengah hiruk-pikuk nasionalisme, sering kali kita menyaksikan bentuk-bentuk eksklusi yang justru dibungkus dalam nama persatuan. Kata “kita” menjadi milik mereka yang dominan, sementara “mereka”, kaum minoritas perlahan-lahan dikeluarkan dari wacana kebangsaan. Ini bukan hanya tentang representasi politik atau distribusi ekonomi, tetapi lebih mendasar: tentang siapa yang dianggap layak menjadi bagian dari “kita”.

Dalam sejarah banyak bangsa, termasuk Indonesia, minoritas kerap menjadi korban dalam persimpangan antara ideologi negara dan kepentingan mayoritas. Kita melihat bagaimana etnis Tionghoa selama puluhan tahun distigma dan dibatasi hak-haknya, bagaimana kelompok Ahmadiyah dan Syiah dibungkam secara terbuka tanpa perlindungan memadai, atau bagaimana komunitas adat dan masyarakat lokal terusir dari tanahnya atas nama pembangunan. Semua ini terjadi bukan hanya karena adanya pelaku yang menindas, tetapi juga karena diamnya publik yang tidak bersuara. Dalam diam itu, ketidakadilan menjadi mungkin, dan kekuasaan yang tidak adil menemukan ruangnya.

Diam yang sistematis adalah bentuk kekerasan simbolik. Ia tidak berteriak, tidak memukul, tapi membiarkan tubuh-tubuh dan identitas tertentu lenyap perlahan dalam ketidakterlihatan. Ia menata ulang ruang sosial dan politik sedemikian rupa sehingga yang minor tidak punya tempat untuk berdiri, apalagi berbicara. Yang lebih berbahaya, diam ini kerap dibenarkan atas nama “menjaga harmoni”, “menghindari konflik”, atau “demi stabilitas”. Padahal stabilitas yang dibangun di atas ketakutan dan penghapusan suara bukanlah kedamaian, melainkan bentuk penindasan yang disamarkan.

Di sinilah tantangan moral bangsa: apakah kita berani melampaui kebungkaman dan menjadi bagian dari perubahan? Apakah kita siap mengganti keheningan dengan keberpihakan, dan mengganti kenyamanan mayoritas dengan keberanian mendengarkan mereka yang tersisih?

Mengangkat suara minoritas bukan berarti mengabaikan mayoritas. Justru sebaliknya: bangsa yang adil adalah bangsa yang mampu mengakui luka-luka tersembunyi dalam tubuhnya sendiri, dan memilih untuk menyembuhkannya bersama. Sebab sejarah telah membuktikan, bahwa ketidakadilan terhadap sebagian adalah ancaman bagi keutuhan seluruh bangsa.

Antara Ketakutan, Pembiaran, dan lemahnya Konstitusi

Perusakan rumah ibadah, khususnya rumah ibadah non-Muslim, merupakan salah satu bentuk paling nyata dari intoleransi keagamaan yang mengancam prinsip dasar kebangsaan Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika dan jaminan konstitusional atas kebebasan beragama. Namun yang lebih memprihatinkan dari perusakan itu sendiri adalah diamnya masyarakat luas dan lambatnya respons negara, seolah-olah peristiwa tersebut tidak mengusik martabat kebangsaan secara menyeluruh. Diamnya bangsa muncul dalam berbagai bentuk:

Diam Negara: aparat keamanan sering datang terlambat atau bahkan tidak hadir ketika rumah ibadah dibakar, disegel, atau dirusak. Dalam beberapa kasus, negara malah justru bersikap permisif terhadap tekanan kelompok intoleran dengan berdalih “menghindari konflik horizontal”. Ini adalah bentuk state inaction yang melemahkan supremasi hukum dan keadilan.

Diam Tokoh-Tokoh Publik: para pemimpin masyarakat, politikus, dan tokoh agama yang memiliki otoritas moral kerap memilih untuk tidak bersuara, entah karena perhitungan politik, ketakutan, atau kalkulasi popularitas. Mereka lupa bahwa diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk kolusi moral.

Diam Masyarakat Sipil: masyarakat yang lebih luas, khususnya kelompok mayoritas, sering kali menganggap perusakan rumah ibadah non-Muslim sebagai “bukan urusan kami” atau “masalah sensitif”. Ketika narasi pembelaan atas korban tidak mendapat dukungan publik, maka yang menang bukan hanya pelaku, tapi juga ideologi kebencian yang mendasarinya.

Diam Media dan Pendidikan: banyak kasus intoleransi dan perusakan rumah ibadah tidak diberitakan secara proporsional atau dihapus dari diskursus publik. Bahkan di ruang-ruang pendidikan, peristiwa ini nyaris tidak dibahas sebagai pelanggaran hak asasi manusia atau krisis moral bangsa. Diam institusional semacam ini menormalisasi kekerasan dan membungkam ingatan kolektif.

Contoh-contoh kasus nyata: kasus Ciketing, Bekasi (2010): Gereja HKBP Filadelfia diserang saat umat hendak beribadah. Negara terlambat bertindak, dan masyarakat sekitar memilih diam atau justru mendukung aksi intoleran. Gereja Yasmin, Bogor: Disegel bertahun-tahun meskipun sudah menang di Mahkamah Agung. Pemerintah daerah tidak patuh pada putusan hukum. Kasus pembakaran vihara dan klenteng di Tanjung Balai (2016): Bermula dari sentimen agama di media sosial, tapi berkembang jadi aksi kekerasan massal. Hanya segelintir pihak yang bersuara lantang menolak kekerasan itu. 1). Sukabumi, Cidahu (27 Juni 2025), Retret pelajar Kristen di sebuah rumah singgah di Desa Tangkil dibubarkan oleh massa sekitar setelah salat Jumat. Fasilitas seperti pagar, kursi, dan salib dirusak; polisi hanya menetapkan 7 tersangka setelah proses hukum dibuka. Meskipun aparat bergerak, respons publik dan tokoh lokal mayoritas diam atau tidak bersuara secara terbuka. 2). Rumah Doa Kristen, Padang (27 Juli 2025), Sebagai tempat ibadah sekaligus pendidikan anak-anak, rumah doa di Padang Sarai dirusak oleh sekelompok orang: kaca pecah, kursi dibanting, pagar dirongrong. Video kekerasan beredar viral, namun reaksi publik luas dan kebijakan pemerintah setempat tidak sigap. PGI mengecam insiden ini sebagai intoleransi yang embahayakan masa depan kerukunan bangsa. 3). Depok, penolakan Gereja GBKP (Juli 2025), Bangunan Gereja GBKP Studio Alam sudah mengantongi IMB dan memenuhi persyaratan legal, namun warga sekitar menolak keras dan meminta penangguhan pembangunan. Pemerintah daerah merespons dengan tarik ulur kebijakan, meski aturan dan izin sudah sah 4). Toraja, Sulawesi Selatan (Februari–Maret 2025), Gereja Toraja Lanraki yang telah beroperasi selama dua tahun di rumah anggota jemaat menghadapi penolakan melalui spanduk penolakan. Padahal kegiatan ibadah dan konsolidasi jemaat sudah berjalan legal dan tertib. 5). Samarinda – Penolakan Gereja Toraja (Mei 2025), Spanduk protes tebal menghiasi area Sungai Keledang, Samarinda, menolak pembangunan Gereja Toraja walau izin sudah jelas. Langkah aparat menerima tekanan publik tanpa melindungi hak jemaat dengan tegas cukup lama.

Dalam semua peristiwa ini, diamnya bangsa memperpanjang penderitaan korban dan meneguhkan bahwa hak minoritas bersifat rentan dan bisa dinegosiasikan, padahal dalam konstitusi, hak untuk beribadah adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Diam sebagai Kekerasan Pasif

Sebagaimana diungkapkan oleh Desmond Tutu: “Jika kamu bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, berarti kamu telah memihak pada pihak penindas.” (If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor) Diam bukanlah posisi netral. Dalam konteks perusakan rumah ibadah, diam adalah bentuk kekerasan pasif yang memperkuat pelaku dan mengabaikan martabat kemanusiaan korban. Bangsa yang terus diam atas ketidakadilan berisiko kehilangan legitimasi moralnya.

Dalam banyak kasus, diamnya bangsa mencerminkan bentuk ketidakpedulian terhadap minoritas. Namun, diam itu sendiri bersifat kompleks: bisa lahir dari ketakutan, kebingungan, ketidaktahuan, atau sikap masa bodoh. Yang pasti, ketika diam menjadi norma sosial saat ketidakadilan terjadi, maka ia bukan lagi netral, melainkan berpihak pada status quo yang menindas.

Ketika perusakan rumah ibadah, pengusiran kelompok keagamaan, atau pelabelan buruk terhadap etnis tertentu tidak menimbulkan reaksi publik yang kuat, itu adalah tanda bahwa masyarakat luas tidak menempatkan penderitaan minoritas sebagai persoalan kebangsaan bersama. Ini bisa disebut sebagai apatia moral kolektif.

Diam seperti ini bukan sekadar absen dari bicara, tetapi absen dari tanggung jawab. Ia menandakan bahwa minoritas tidak cukup “penting” untuk diperjuangkan oleh mayoritas.

Diam sebagai hasil pembungkaman atau ketakutan

Namun dalam beberapa konteks, sebagian masyarakat juga diam karena takut: takut dicap membela “kelompok sesat”, takut terhadap tekanan kelompok radikal, atau takut terhadap konsekuensi sosial. Ini adalah diam yang dipaksakan secara struktural, bukan karena tidak peduli, tetapi karena tidak berdaya.

Dalam hal ini, bukan seluruh bangsa tidak peduli, tapi negara dan sistem sosialnya gagal menciptakan ruang aman untuk solidaritas lintas identitas.

Diam sebagai warisan budaya mayoritas

Di banyak masyarakat plural, mayoritas sering kali menganggap nilai-nilai mereka sebagai standar kebangsaan. Akibatnya, mereka cenderung tidak melihat penderitaan minoritas sebagai masalah nasional. Ini bukan selalu karena niat jahat, tapi karena tidak pernah diajarkan untuk peduli, atau bahkan tidak sadar bahwa yang minor sedang terluka. Diam di sini adalah hasil dari pembiasaan—budaya melihat tanpa benar-benar melihat.

Dalam konteks ketidakadilan, diam bukan lagi hanya tindakan pribadi, tapi bagian dari struktur sosial yang menentukan siapa yang layak dibela dan siapa yang bisa diabaikan. Maka, diamnya bangsa dalam banyak kasus memang berarti bahwa bangsa—sebagai entitas sosial-politik—tidak cukup peduli terhadap minoritas.

Bukan karena semua orang jahat, tapi karena sistem tidak mendorong empati, keberanian moral, atau kesadaran lintas identitas. Dan selama ketidakpedulian ini tidak diatasi, minoritas akan terus berada dalam posisi rentan.

Diamnya Bangsa dan Ketidakpedulian terhadap Minoritas

Ketika bangsa diam saat ketidakadilan menimpa kelompok minoritas, maka yang terjadi bukan sekadar ketiadaan suara, tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan publik. Diam yang terjadi secara sistemik mencerminkan bahwa minoritas tidak dilihat sebagai bagian penuh dari komunitas politik, dan bahwa penderitaan mereka dianggap dapat dinegosiasikan demi kenyamanan atau stabilitas mayoritas. Dalam konteks ini, diam bukanlah netralitas, melainkan bentuk ketidakpedulian yang terstruktur.

Filsuf politik Iris Marion Young menyebut bentuk ini sebagai “injustice of structural inequality”, yaitu ketidakadilan yang bukan hanya berasal dari tindakan represif langsung, tetapi dari pola-pola sosial yang membatasi siapa yang didengar, siapa yang diabaikan, dan siapa yang bahkan tidak dianggap sebagai pihak yang bisa berbicara. Dalam masyarakat yang mayoritasnya enggan atau menolak menyuarakan penderitaan minoritas, kita menghadapi civic silence: kebungkaman warga terhadap tanggung jawab kolektif membela keadilan.

Lebih jauh lagi, Jürgen Habermas menekankan pentingnya ruang publik komunikatif sebagai tempat di mana klaim kebenaran, keadilan, dan penderitaan dapat dinegosiasikan secara rasional dan terbuka. Namun ketika rumah ibadah dibakar dan masyarakat memilih bungkam, maka ruang publik itu telah disabotase oleh ketakutan dan intoleransi. Diamnya bangsa dalam hal ini adalah kegagalan deliberatif, yakni kegagalan untuk menciptakan percakapan yang setara dan inklusif. Ketika suara minoritas tak diberi ruang untuk berbicara, maka bangsa telah kehilangan daya etiknya sebagai komunitas demokratis.

Dari sudut pandang John Rawls, keadilan adalah “the first virtue of social institutions”, dan prinsip keadilan harus melindungi mereka yang paling rentan. Dalam teori justice as fairness, Rawls menekankan bahwa masyarakat adil adalah masyarakat yang berani merancang struktur sosial seakan-akan tidak tahu apakah dirinya akan lahir sebagai mayoritas atau minoritas. Diam dalam menghadapi perusakan rumah ibadah adalah kegagalan untuk menghayati prinsip itu: bahwa kita bisa saja menjadi mereka, dan karena itu keadilan harus hadir bagi semua, tanpa diskriminasi.

Dengan kata lain, diamnya bangsa mencerminkan tidak hanya ketidakpedulian, tapi juga krisis moral dalam struktur sosial-politik. Ia menunjukkan bahwa solidaritas belum sungguh menjadi nilai hidup bersama, dan bahwa minoritas masih dianggap sebagai “mereka”, bukan “kita”. Dalam kondisi ini, negara, masyarakat sipil, dan setiap individu warga negara perlu merefleksikan: apakah kita diam karena takut, karena tidak tahu, atau karena kita merasa tidak berkepentingan?

Apapun alasannya, diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk keterlibatan pasif dalam kekerasan itu sendiri. Dan hanya dengan mengakhiri diam kolektif itulah bangsa bisa benar-benar membangun keadilan substantif dan inklusi sejati. (***)

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *